Etika dan Profesionalisme: Kunci Mencegah Kekerasan Seksual di Dunia Medis

image

Pentingnya etika dan profesionalisme dalam mencegah kekerasan seksual di dunia medis, terutama oleh tenaga kesehatan.

Pentingnya Etika dalam Dunia Medis

Belakangan ini, publik dikejutkan oleh kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Bandung. Kejadian ini mengingatkan kita bahwa ruang layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi tempat aman, masih rentan terhadap kekerasan berbasis kuasa. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis menjadi sorotan, menekankan pentingnya perlindungan pasien dan evaluasi terhadap pembinaan tenaga medis.

Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) menyadari tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis tetapi juga menjunjung tinggi etika dan profesionalisme. Direktur RSA UGM, Dr. Darwito, menegaskan bahwa seleksi PPDS tidak hanya mengukur aspek akademik tetapi juga integritas kepribadian. Seleksi ini mencakup tes psikologi dan wawancara untuk menggali karakter calon dokter.

Pendidikan Etika yang Berkelanjutan

Di awal masa pendidikan, peserta PPDS dibekali dengan kuliah umum tentang etika kedokteran. Namun, menurut Dr. Darwito, etika bukan hanya pembelajaran sesaat. Nilai-nilai etis harus terus ditanamkan dan dilatih sepanjang masa pendidikan klinis. Dalam dunia medis yang kompleks, sikap etis perlu dibentuk melalui proses panjang dan interaksi nyata dengan pasien.

RSA UGM menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat. Residen menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau, mulai dari tahap observasi hingga mandiri. Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP) sebagai penilai utama performa residen.

Meskipun RSA UGM belum memiliki pelatihan khusus tentang kekerasan seksual, materi terkait telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan. Ini merupakan komitmen RSA dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menjaga martabat pendidikan kedokteran.

Langkah preventif lain termasuk pemasangan kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis untuk memastikan transparansi dan pengawasan aktivitas di rumah sakit. RSA juga menerapkan sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan untuk meminimalkan potensi kerentanan.

Keberadaan DPJP sebagai pengawas utama memastikan proses pembelajaran yang aman secara fisik dan etis. RSA berusaha menghindari pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan, dengan semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP.

Dr. Darwito menekankan pentingnya membedakan antara tindakan dalam kapasitas pendidikan dan tindakan pribadi. Jika terjadi pelanggaran dalam proses pendidikan, institusi dapat memberikan sanksi akademik, termasuk pengeluaran. Namun, jika kejadian di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit.

Refleksi atas kasus ini menjadi momen penting bagi RSA UGM untuk memperkuat sistem pendidikan yang menghasilkan dokter kompeten dan bermartabat. Dr. Darwito menyatakan bahwa institusinya berkomitmen menegakkan etika, norma, dan hukum. Dengan pengawasan berlapis dan pendidik yang menjadi panutan, RSA UGM membangun ruang belajar yang aman dan bermakna.

Kepercayaan publik terhadap dunia medis hanya bisa dijaga jika institusi pendidikan konsisten menjaga nilai-nilai etik dan kemanusiaan. Pendidikan harus menanamkan nilai-nilai etika dan norma sejak awal, didukung oleh SOP dan teladan dari para pendidik.


You Might Also Like