Kisah inspiratif tiga mahasiswa penyandang autisme yang menempuh pendidikan di UGM, mengatasi stigma dan tantangan dengan dukungan kampus inklusif.
Komitmen UGM Menjadi Kampus Inklusif
Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan komitmennya untuk menjadi kampus inklusif yang ramah bagi penyandang disabilitas. Dengan menerima mahasiswa dari kalangan disabilitas dan mengembangkan pembelajaran yang ramah disabilitas, UGM berharap dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi calon mahasiswa penyandang disabilitas lainnya.
Pengalaman Riani Wulan Sujarrivani
Riani Wulan Sujarrivani, mahasiswa S1 Ilmu Tanah angkatan 2024, berbagi pengalamannya sebagai penyandang autisme di UGM. Ia didiagnosis Autism Spectrum Disorder dan pernah mengalami stigma dianggap tidak mandiri. Namun, dukungan dari keluarga dan guru membantunya untuk terus berjuang.
Riani sempat gagal dalam tiga jalur seleksi masuk UGM pada tahun pertama, tetapi akhirnya diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) pada tahun kedua. Selama berkuliah, ia menghadapi tantangan menyelesaikan tugas tepat waktu dan beradaptasi dengan laboratorium. Namun, dukungan dari universitas dan fakultas, seperti perpanjangan waktu pengerjaan tugas dan akses ke Layanan Disabilitas, sangat membantunya.
Kisah Siham Hamda Zaula Mumtaza
Siham Hamda Zaula Mumtaza, mahasiswa S1 Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019, berbagi kisahnya sebagai penyandang autisme dan gangguan kesehatan mental. Ia didiagnosis Autism Spectrum Disorder sejak sekolah dasar, meski sempat disangkal oleh orang tuanya.
Untuk mendukung Siham selama perkuliahan, ULD UGM melakukan asesmen dan pengaturan ulang dosen pengampu setiap semester. Ia mendapatkan pendampingan khusus untuk membantu proses belajar, serta asesmen berkelanjutan untuk memastikan layanan yang inklusif.
Perjalanan Muhammad Rhaka Katresna
Muhammad Rhaka Katresna, mahasiswa Magister Agama dan Lintas Budaya, berbagi pengalamannya mendapatkan diagnosis autisme di usia dewasa. Ia menghadapi tantangan penolakan keluarga dan ketidakpastian dari layanan kesehatan selama 27 tahun hidupnya.
Setelah lulus S1 Psikologi, Rhaka melanjutkan S2 di Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya di UGM, yang mendukung minat risetnya dalam penelitian berbasis pengalaman autistik. Ia menekankan pentingnya membangun cara sendiri untuk bersuara dan hidup sesuai kebutuhan, bukan ekspektasi pihak lain.
Rhaka mendapatkan dukungan dalam bentuk perpanjangan tenggat tugas dan metode pembelajaran yang fleksibel. Ia mengajak teman-teman untuk bangga menjadi diri sendiri, sebagaimana adanya.