Mengungkap Keindahan dan Makna Tenun Gringsing Bali

image

Peluncuran buku Prof. Etty Indriati tentang tenun Gringsing Bali mengungkap keindahan dan makna budaya.

Peluncuran Buku Tentang Tenun Gringsing Bali

Antropolog UGM, Prof. Dr. Etty Indriati, baru saja meluncurkan buku berjudul “Vitalitas Tenun Gringsing Bali: Keindahan dalam Keseimbangan di Tenganan Pegringsingan”. Acara ini berlangsung pada Rabu (12/2) di Auditorium Lantai 5, Gedung Sekolah Pascasarjana UGM. Buku ini mengupas tuntas tentang keindahan dan makna di balik kain tenun Gringsing yang berasal dari Bali.

Dalam acara peluncuran tersebut, juga diadakan pameran koleksi tenun Gringsing yang memukau para peserta dan pengunjung. Etty berbagi cerita tentang bagaimana ia terinspirasi untuk menulis buku ini setelah menghadiri pameran batik di Amerika Serikat pada tahun 2017. “Tahun 2017 itu, saya diundang untuk mengidentifikasi batik di The Art Institute of Chicago,” jelasnya.

Makna Budaya dan Ritual Tenun Gringsing

Selama pameran yang berlangsung lima bulan tersebut, Etty tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang kain ini hingga ke Bali. Di sana, ia menemukan bahwa masyarakat setempat menggunakan Kain Gringsing sebagai bagian penting dari ritual agama mereka. “Jadi kesimpulan saya pergi ke Bali ini, gringsing adalah materi budaya yang dipakai untuk mengekspresikan ekspresi religius,” tambahnya.

Tenun Gringsing digunakan dalam berbagai ritual seperti kemben, persembahan, dan ayunan yang melambangkan keseimbangan. Kain ini juga hadir dalam upacara penting seperti pemotongan rambut pertama anak dan Ritual Perang Pandan. Salah satu motif yang paling sakral adalah Wayang Kebo, yang digunakan oleh penari Rejang di Tenganan, Pegringsingan.

Etty menjelaskan bahwa desain tenun Gringsing berkonsep simetris atau isometris dalam matematika. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat setempat menjaga keseimbangan alam dan budaya mereka. Meskipun teknologi berkembang, mereka tetap mempertahankan ritual dan tradisi mereka.

“Ketika kita menjaga hutan di situ ada green economy, ada ecological sustainable, tidak hancur hilang kemudian jadi orang miskin. Tanah inilah yang harus dijaga,” paparnya.

Proses pembuatan tenun Gringsing memakan waktu bertahun-tahun dan dimulai sejak remaja putri yang belum menikah. Mereka belajar di asrama dengan aturan ketat, termasuk tidur di atas jerami, hingga mereka menemukan pasangan hidup.

Keunikan lain dari pembuatan kain ini adalah urutan ritual yang harus diikuti dengan benar. “Yang buat saya kagum adalah ritualnya harus urut terus berlanjut sampai si gadis ini punya kepekaan,” ujarnya.

Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., memberikan apresiasi tinggi terhadap buku ini. Menurutnya, buku ini menjadi media yang sangat baik untuk menyerukan budaya dan tradisi sebagai identitas bangsa.

“Dari buku ini Prof. Etty mencoba menggambarkan bagaimana tenun gringsing menjadi representasi bagaimana keselarasan hidup dan cerminan identitas budaya masyarakat khususnya Masyarakat Bali,” ujarnya.


You Might Also Like