Kampus berperan penting dalam mendorong kemajuan BUMDes melalui partisipasi aktif dan kolaborasi.
Sudah sepuluh tahun sejak Undang-Undang Desa ditetapkan, dan jumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) terus meningkat. Pada tahun 2023, tercatat 58.065 unit BUMDes aktif beroperasi di seluruh Indonesia. Namun, jumlah tersebut belum berpengaruh signifikan terhadap perekonomian desa.
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A., menyebutkan bahwa keberadaan BUMDes seharusnya dapat memacu desa untuk mandiri dan memiliki pendapatan asli desa. Pendapatan ini dapat dimanfaatkan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat.
Peran BUMDes dalam Kemandirian Desa
BUMDes dibentuk sesuai amanah UU Desa, yang bertujuan memberikan desa otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri sehingga responsif dan dekat dengan masyarakatnya. Dari pengamatan Bambang, desa memiliki tingkat pendapatan rata-rata yang cukup rendah, yang berpengaruh terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Dana desa yang juga merupakan produk dari UU Desa tidak cukup untuk memacu kemandirian desa. Desa harus bisa demokratis sehingga penghasilannya fokus untuk diinvestasikan bagi kemajuan desa, bukan untuk birokrasi atau memperkaya perangkat desa.
Bambang menilai, BUMDes dapat dikembangkan dari berbagai sektor sesuai dengan kebutuhan masyarakat. BUMDes tidak hanya mengelola bisnis, tetapi harus berdampak positif bagi masyarakat. Bambang mencontohkan BUMDes dapat membuat program pendirian pasar.
Membuat pasar bukan berarti meniadakan pedagang, tetapi membuka kesempatan bagi pedagang untuk memiliki tempat usaha yang luas, nyaman, baik, dan murah sehingga dapat mengendalikan biaya bagi konsumen. Dengan demikian, desa mendapatkan pendapatan dari penyewaan lapak dan pedagang mendapatkan penghasilan dari hasil berjualan.
Kolaborasi Kampus dan BUMDes
Ia mencontohkan BUMD Karangrejek, Gunungkidul, Yogyakarta, yang berhasil menyediakan air minum secara swadaya bagi masyarakat. Masyarakat dapat mengakses air bersih selama 24 jam untuk berbagai keperluan lainnya, sehingga tidak perlu khawatir akan kelangkaan air bersih, terutama pada musim kemarau.
Bambang mengakui ada beberapa kisah sukses BUMDes dalam mengembangkan unit usahanya, namun ada juga yang masih terkendala dalam pengembangannya. Salah satu penyebabnya adalah proses ekonomi politik yang membuat uang BUMDes diambil oleh elit desa atau pengelola daripada diinvestasikan untuk kemajuan.
Jika tidak ada partisipasi atau masyarakat tidak dilibatkan, maka BUMDes tidak bisa menguatkan ekonomi desa. Yang dikejar bukan masalah profit, tetapi kebermanfaatan. Masyarakat juga bisa menjadi resisten terhadap keberadaan BUMDes, terutama jika merasa BUMDes menjadi kompetitor.
Hal ini perlu diluruskan, termasuk masyarakat yang merasa tidak diikutsertakan atau tidak diberikan ruang partisipasi dalam kegiatan BUMDes. Resistensi ini bukanlah masalah atau menjadikan BUMDes jelek, tetapi menegaskan peran pengelola untuk menghadirkan keterlibatan bagi masyarakat.
Selain itu, BUMDes perlu melakukan transparansi dalam kegiatan-kegiatannya sehingga masyarakat paham kondisi yang terjadi di lapangan. Pengoptimalisasian BUMDes masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku kebijakan, tetapi dengan beberapa BUMDes yang sudah menunjukkan kebermanfaatannya, Bambang berharap BUMDes dapat terus dikembangkan.
Partisipasi perguruan tinggi dan lembaga riset penting untuk memberikan inspirasi, keteladanan, dan pendampingan bagi BUMDes. Dari aspek ekonomi digital, universitas dapat mengajarkan masyarakat untuk berniaga ke luar daerah, memberikan pelatihan permodalan, dan rencana bisnis.
Bahkan dari aspek sosial, bisa mengajak perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Perguruan tinggi bisa berperan langsung dengan turun di masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat maupun mahasiswa UGM melalui program Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM).