Film Garin Nugroho ini menggambarkan perjuangan melawan ketidakadilan hukum di Indonesia.
Perjuangan Puspa dalam Menghadapi Ketidakadilan
Sutradara Garin Nugroho kembali hadir dengan karya terbarunya, 'Nyanyi Sunyi dalam Rantang', yang pertama kali ditayangkan di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada. Film ini menyoroti realitas penegakan hukum di Indonesia melalui empat kisah nyata yang menyayat hati, mulai dari konflik tanah adat hingga kebebasan berbicara yang terancam.
Tokoh utama, Puspa, seorang pengacara perempuan yang diperankan oleh Della Dartyan, menghadapi tantangan besar dalam membela masyarakat sipil. Kekalahan demi kekalahan dalam kasus yang melibatkan pihak berkuasa membuat Puspa sering merasa putus asa. Namun, ia terus berjuang meski harus menghadapi kekuatan besar seperti pejabat dan perusahaan.
Simbolisme rantang merah yang selalu dibawa Puspa menjadi pengingat akan perjuangan yang belum usai. Lagu 'Nona Manis Siapa yang Punya' yang dinyanyikannya menjadi pelipur lara di tengah kesedihan yang mendalam.
Pesan Sosial dan Kolaborasi dalam Produksi
Film ini tidak hanya menampilkan drama hukum, tetapi juga menggambarkan aksi putus asa keluarga korban sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Puspa berusaha meyakinkan kliennya bahwa mereka tidak salah, meski hukum tidak berpihak pada mereka.
Konflik semakin memuncak ketika adik Puspa, Krisna, ditangkap karena kritiknya terhadap penyuapan. Alex Suhendra, pemeran Krisna, mengaku senang terlibat dalam proyek ini meski harus mendalami perannya hanya dalam satu hari.
Proses produksi film ini melibatkan banyak brainstorming dari tim Garin. Didik Mulyanto dari KPK menyatakan bahwa film ini adalah strategi komunikasi untuk meningkatkan pemahaman tentang pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Kolaborasi dalam produksi film ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Padi Padi Pictures, Garin Workshop, dan Tempo Media. Wirastuti Widyatmanti dari UGM menekankan pentingnya kolaborasi dalam pemberantasan korupsi.
Apresiasi terhadap film ini juga datang dari Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, yang menilai bahwa upaya reflektif seperti ini penting dalam pemberantasan KKN yang belum sepenuhnya berhasil.