Polemik Lagu Band Sukatani: Institusi Kepolisian Dinilai Belum Siap Terima Kritik

Polemik penarikan lagu Sukatani mengungkapkan ketidaksiapan institusi kepolisian menerima kritik publik.

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan penarikan lagu dari band punk lokal, Sukatani, yang berjudul “Bayar, Bayar, Bayar”. Lagu ini ditarik dari seluruh platform musik pada Jumat, 14 Februari 2025. Pengumuman penarikan tersebut disampaikan oleh personil Sukatani melalui media sosial, disertai permintaan maaf kepada Institusi Kepolisian.

Langkah ini memicu opini publik yang negatif terhadap kepolisian, yang dianggap anti-kritik dan melakukan pembredelan seni. Pakar Manajemen Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP, memberikan pandangannya terkait polemik ini.

Kritik Publik dan Kebebasan Berekspresi

Menurut Prof. Wahyudi, kasus ini menunjukkan bahwa lembaga publik seperti Polri belum siap menerima kritik dari masyarakat. “Walaupun personil sudah meminta maaf, publik paham bahwa kemungkinan itu karena intimidasi dari aparat polisi,” ujarnya pada Senin (3/3).

Prof. Wahyudi menekankan bahwa kebebasan berekspresi dijamin dalam konstitusi, yakni UU 39/1999 dan Undang-Undang 9/1998. Namun, tampaknya aparat kepolisian belum memahami esensi dari kebebasan tersebut. Band Sukatani menciptakan lagu ini sebagai bentuk kritik terhadap kinerja kepolisian, khususnya terkait pungutan liar (pungli).

Respon Institusi Terhadap Kritik

“Seharusnya kepolisian mengembang tanggung jawab untuk mengayomi dan menjaga keamanan sipil,” tambahnya. Bagi Prof. Wahyudi, kebebasan berpendapat tidak seharusnya ditentang oleh institusi. Sebaliknya, kritik seharusnya dijadikan masukan untuk memperbaiki kinerja institusi bagi masyarakat.

“Sangat disayangkan kasus band Sukatani justru memberikan gambaran bahwa institusi belum mampu merespon kritik masyarakat yang membangun,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada jarak antara harapan publik dan kesiapan institusi dalam menerima masukan.

Penarikan lagu ini menjadi refleksi bagi institusi kepolisian untuk lebih terbuka terhadap kritik dan masukan dari masyarakat. Kritik, jika diterima dengan baik, dapat menjadi katalisator perubahan positif dalam lembaga publik.

Prof. Wahyudi berharap agar ke depan, institusi kepolisian lebih siap dan terbuka dalam menerima kritik. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan meningkatkan kinerja institusi dalam melayani masyarakat.

Dengan demikian, polemik ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama dalam memahami pentingnya kebebasan berekspresi dan kritik yang konstruktif.

Di era digital ini, suara publik semakin mudah terdengar, dan institusi harus siap beradaptasi dengan dinamika tersebut. Hanya dengan cara ini, kepercayaan publik terhadap institusi dapat terjaga dan diperkuat.


You Might Also Like