Mengupas tren dwifungsi ABRI dalam revisi UU TNI dan dampaknya pada sektor sipil di Indonesia.
Kontroversi Revisi UU TNI
Pemerintah saat ini tengah menghadapi kritik terkait upaya memperluas jabatan militer melalui revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Salah satu contoh yang memicu perdebatan adalah pengangkatan Perwira Tinggi TNI AD, Novi Helmy Prasetya, sebagai Direktur Utama Bulog. Meskipun Novi telah berhenti dari dinas kemiliteran, langkah ini dianggap sebagai upaya menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI yang pernah ada di masa Orde Baru.
Menurut Muhammad Najib Azca, Ph.D, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, ada tren peningkatan pengisian jabatan militer di sektor sipil. Berdasarkan konstitusi, prajurit militer seharusnya hanya mengisi jabatan di bidang pertahanan dan keamanan. Namun, revisi UU TNI ini memungkinkan prajurit aktif untuk mengisi posisi di pemerintahan dan sektor sipil dengan izin presiden.
Implikasi Sosial dan Politik
Revisi ini telah disetujui oleh seluruh fraksi DPR dalam Sidang Paripurna Mei 2024. Najib mengamati bahwa kecenderungan ini muncul di era pemerintahan Jokowi dan semakin meluas di era Prabowo, yang memiliki latar belakang militer. Ia menekankan pentingnya diskusi publik untuk memastikan revisi ini tidak memberikan cek kosong kepada pemerintah.
Persoalan lain yang muncul adalah sentimen publik terhadap pengisian jabatan sipil oleh militer. Survei Kompas pada Maret 2024 menunjukkan bahwa 41,1% responden tidak setuju jika jabatan sipil diisi oleh TNI-Polri aktif, meskipun persentase yang sama setuju. Fenomena ini menunjukkan adanya militerisme, di mana nilai-nilai militer dianggap lebih unggul dibanding sipil.
Najib menyoroti bahwa militerisasi di era Orde Baru telah menumbuhkan sentimen positif terhadap militer. Hal ini membuat penolakan terhadap perluasan jabatan militer sulit mendapatkan dukungan maksimal dari masyarakat. Bahkan, beberapa organisasi sipil mengadopsi nilai-nilai kemiliteran.
Indonesia, bersama Vietnam, menerapkan struktur teritorial militer yang menempatkan komando dari tingkat nasional hingga daerah. Najib menyebut ini sebagai warisan perang gerilya yang tidak kompatibel dengan demokrasi. Ia menekankan pentingnya peran partai politik sebagai representasi publik untuk mempertegas bahwa sektor sipil tidak perlu diisi oleh militer.
Edukasi masyarakat untuk mendukung de-militerisme juga perlu digencarkan. Militer seharusnya tetap dalam fungsi pertahanan, dan batasan-batasan harus dijaga agar tidak membangkitkan sistem di era Orde Baru.