Kontroversi Vasektomi Sebagai Syarat Bansos: Diskriminasi dan Pemaksaan

image

Membahas kontroversi kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos di Jawa Barat yang dinilai diskriminatif.

Vasektomi Sebagai Syarat Bansos: Kebijakan yang Dipertanyakan

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusulkan kebijakan kontroversial dengan menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos). Wacana ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D. Menurut Wisnu, kebijakan ini sangat diskriminatif dan berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial. Ia menekankan bahwa masih banyak alternatif lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi kemiskinan tanpa harus memaksakan kontrasepsi.

Wisnu menjelaskan bahwa keluarga miskin cenderung memiliki anggota rumah tangga lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Namun, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos adalah kebijakan ekstrem yang berisiko sosial. Hal ini bisa menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap program bansos serta program pemerintah lainnya.

Alternatif Kebijakan yang Lebih Manusiawi

Wisnu menyarankan agar pemerintah menggencarkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang bersifat sukarela, seperti di era Orde Baru. Pendekatan ini terbukti berhasil menurunkan angka kelahiran tanpa paksaan. Banyak negara menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menekan populasi penduduknya. Misalnya, di Amerika Serikat dan United Kingdom, kebijakan pembatasan tempat tinggal diterapkan dengan menyesuaikan jumlah kamar dengan jumlah penghuni.

Dari sisi hak asasi manusia, Wisnu menegaskan bahwa hak reproduksi merupakan bagian dari hak dasar manusia yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara. Negara tidak memiliki hak untuk memaksa warga menjalani tindakan medis seperti vasektomi. Edukasi, insentif, dan sosialisasi adalah langkah yang lebih tepat untuk mengatasi masalah kependudukan.

Wisnu juga mengingatkan tentang risiko moral hazard jika bansos dijadikan alat untuk memaksakan keputusan medis tertentu. Praktik ilegal seperti surat vasektomi palsu atau klinik gelap bisa muncul. Untuk merancang kebijakan kependudukan yang manusiawi dan berkelanjutan, pendekatan partisipatif dan berbasis edukasi sangat diperlukan.

Misalnya, dengan mendorong voluntary family planning, memberikan insentif untuk kepesertaan program keluarga berencana, edukasi reproduksi yang komprehensif, memperkuat perlindungan sosial, serta inovasi program seperti pemberian voucher kontrasepsi gratis atau sistem berbasis insentif sosial, untuk mencapai tujuan kependudukan tanpa paksaan.


You Might Also Like