RUU Penyiaran: Potensi Multitafsir dan Tumpang Tindih, Perlu Tinjauan Ulang

image

RUU Penyiaran dinilai multitafsir dan tumpang tindih, Dosen UGM sarankan tinjauan ulang.

Potensi Multitafsir dalam RUU Penyiaran

Draft revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran kini menjadi sorotan publik. Beberapa kebijakan yang diusulkan dalam RUU ini bertujuan untuk mengatur siaran di berbagai saluran, termasuk platform digital. Namun, meskipun perubahan terhadap UU Penyiaran memang diperlukan mengingat perkembangan teknologi dan industri siaran, beberapa pihak merasa bahwa RUU ini berpotensi multitafsir dan tumpang tindih dengan aturan lain.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Dr. Rahayu, M.Si., MA, mengungkapkan bahwa ada beberapa poin dalam RUU Penyiaran yang perlu dipertimbangkan kembali. Salah satunya adalah kewenangan yang berlebihan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Saya lihat ada indikasi KPI ini akan jadi lembaga superpower, semuanya diatur,” ujar Rahayu dalam sebuah diskusi.

Salah satu klausul yang menjadi perhatian adalah Pasal 50B tentang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal ini tidak menjelaskan makna “eksklusif” dengan jelas, sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Menurut Rahayu, hal ini dapat berbenturan dengan Undang-Undang Pers yang melindungi kebebasan pers dari penyensoran.

Implikasi Tumpang Tindih Aturan

Rahayu juga menyoroti definisi RUU Penyiaran terhadap konten siaran. Pasal 7 Ayat 1 dan Pasal 8A Ayat 1 menyebutkan bahwa KPI berfungsi mengatur dan mengawasi isi siaran dan konten siaran. Namun, definisi konten siaran yang mencakup materi digital dari platform digital menimbulkan kebingungan, terutama terkait posisi perseorangan dan lembaga yang disamakan.

“Seharusnya perseorangan dengan lembaga tidak disamakan. Lembaga bisa berbadan hukum, perseorangan kan tidak,” jelas Rahayu. Selain itu, tidak ada penjelasan mengenai bentuk pengawasan yang akan dilakukan oleh KPI, padahal konten digital berkembang dengan cepat.

RUU Penyiaran juga mengusulkan pembentukan KPI daerah, yang dapat mendorong penayangan konten budaya daerah dan memperkuat media lokal. Namun, mekanisme operasional dan pengelolaan finansialnya tidak dijelaskan, sehingga dikhawatirkan akan membebani anggaran daerah.

Rahayu menegaskan bahwa RUU Penyiaran masih memerlukan pertimbangan terhadap sejumlah pasal yang tidak efisien karena tumpang tindih dengan kebijakan lain. Jangan sampai regulasi soal siaran mempersempit kebebasan berekspresi dan mengancam perseorangan di platform digital.

“RUU ini saya lihat justru banyak menghukum content creator, bukan platform. Aturan itu serahkan saja sama platform, mereka yang bertanggung jawab memoderasi konten. Pemerintah bisa berdiskusi dengan platform,” ucapnya.

Di Eropa, regulasi siaran memberikan pengaturan jelas pada siaran televisi dan platform digital, seperti dorongan konten lokal dan larangan konten diskriminatif. Regulasi ini membedakan pengaturan antara penyelenggara, lembaga, dan perusahaan siaran, bukan perseorangan.

Lebih lanjut, Rahayu menyampaikan bahwa regulasi selama ini masih fokus pada industri media nasional, belum menggandeng media siaran lokal. Sejak beralih ke digital, banyak TV lokal yang kesulitan bertahan. Pemerintah perlu melindungi industri penyiaran, bukan hanya memberlakukan pembatasan.

“Pada dasarnya keberadaan media ini kan bentuk dari suara masyarakat, maka perlu dilindungi,” pungkasnya.


You Might Also Like