Keputusan PSU di 24 daerah mencerminkan tantangan dalam tata kelola Pilkada di Indonesia.
PSU: Cermin Buruknya Tata Kelola Pilkada
Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pilkada di 24 daerah di Indonesia. Keputusan ini membutuhkan anggaran besar, hingga Rp719 miliar, yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Di tengah upaya efisiensi anggaran, keputusan ini menjadi sorotan.
Dosen Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, SIP, MA, menilai bahwa keputusan PSU ini mencerminkan buruknya tata kelola pemilu dan pilkada di Indonesia. Menurutnya, proses pemilu kita seringkali berhenti di pra-pemilihan, membuat hasilnya mudah diprediksi dan kurang kompetitif.
Problematika dan Solusi Tata Kelola Pilkada
Alfath menyoroti bahwa hubungan antara partai politik, kandidat, dan masyarakat telah menjadi transaksional. Ini jauh dari ideal demokrasi yang seharusnya. Kecurangan dan pelanggaran dalam Pilkada semakin marak, dan banyak sengketa yang disebabkan oleh masalah administratif.
Untuk memperbaiki sistem ini, Alfath menyarankan beberapa langkah. Pertama, memperbaiki aturan kepemiluan agar ada keseragaman antara pemilihan nasional dan daerah. Kedua, reformasi partai politik agar kaderisasi dan penyaringan kandidat lebih berfokus pada kapasitas individu. Terakhir, memperkuat peran Badan Pengawasan Pemilu agar lebih aktif dalam penegakan aturan.
Alfath juga menyoroti mahalnya biaya untuk menjadi kandidat dalam pemilu, serta budaya buying vote yang masih ada di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pemilu kita masih jauh dari meritokrasi yang ideal.
PSU seharusnya hanya dilakukan jika terjadi bencana alam atau kerusuhan, bukan karena kecurangan. Namun, kali ini PSU menambah beban bagi peserta dan penyelenggara Pilkada. Di Papua, misalnya, biaya PSU mencapai Rp100 miliar, jauh melebihi kemampuan APBD.
Di tengah pemangkasan anggaran, dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan harus dialihkan untuk PSU. Ini memaksa pemerintah daerah untuk menyesuaikan kembali APBD mereka.
Selain masalah anggaran, PSU juga dapat mengubah konstelasi politik. Mulai dari ketersediaan suara, masa kampanye yang tidak ideal, hingga antusiasme masyarakat yang menurun.
Alfath menekankan perlunya upaya untuk menekan PSU sebagai konsekuensi dari ketidaksesuaian pelaksanaan Pilkada. Ini penting agar Pilkada di masa depan lebih berkualitas dan berintegritas.