Mengapa 75% Pemenang Pilkada Sudah Terprediksi Sejak Awal?

image

Analisis terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pemenang Pilkada sudah terprediksi sebelum pemilihan dimulai.

Analisis Peta Koalisi Pilkada 2024

Hasil pemenangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 mengungkapkan dinamika politik terbaru di Indonesia. Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, melakukan analisis mendalam terhadap peta koalisi pemenang Pilkada di 545 daerah. Menariknya, sebagian besar daerah menunjukkan pola pemenangan yang sudah bisa diprediksi bahkan sebelum pemilihan berlangsung.

Dalam konferensi pers yang diadakan pada Rabu (5/3), mahasiswa dan dosen Fisipol UGM menyampaikan hasil analisis ini. Akhmad Fadillah, mahasiswa Fisipol UGM yang terlibat dalam penelitian, mengungkapkan bahwa hanya 131 dari 545 daerah yang mengalami kontestasi kompetitif pada Pilkada Serentak 2024. “Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hanya 24,04% daerah yang mengalami kontestasi kompetitif, sementara lebih dari 75% daerah memiliki pemenang yang sudah dapat diprediksi sejak pra-pemilihan,” jelas Fadil.

Dominasi Koalisi Besar

Survei ini menunjukkan bahwa tingkat kompetisi dalam Pilkada tidak lagi ideal sebagai wadah untuk bertukar gagasan dan ide. “Dikhawatirkan, justru pemilihan hanya diperlakukan sebagai formalitas dalam distribusi kekuasaan,” tambahnya. Berdasarkan peta koalisi, pemenang Pilkada didominasi oleh kelompok koalisi besar dengan partai mayoritas di dalamnya. Kelompok ini terbentuk di 239 daerah atau 43,85% dari total daerah pelaksanaan Pilkada.

Selanjutnya, 133 daerah atau 24,40% merupakan Surplus Majority Coalition yang secara sederhana memiliki kekuasaan besar dalam legislatif. Sedangkan sisanya adalah Grand Coalition sebanyak 7,34% atau 40 daerah yang merupakan koalisi besar partai pemenang. Dominasi koalisi besar ini menciptakan ruang kompetisi yang sempit karena lawan kontestasi yang terlalu kuat bagi partai ataupun koalisi kecil lainnya.

“Tentunya ini sangat mengurangi esensi demokrasi, karena demokrasi yang baik adalah predictable procedures dan unpredictable results. Tapi kita sudah bisa memprediksi pemenang di pra pemilihan,” jelas Fadil. Fenomena ini disebut sebagai Uncontested Election, yakni situasi di mana hanya pemain-pemain besar saja yang mendapat kesempatan pemenangan.

Implikasi dan Tantangan Demokrasi

Dampaknya, akan terjadi pemusatan kekuasaan pada elite politik tertentu sehingga aspirasi dari perwakilan publik lainnya tidak dapat diakomodasi. Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Alfath Bagus Panuntun, mengungkap bahwa pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia semakin marak dikendalikan oleh faktor pragmatis dibanding demokrasi. Salah satunya adalah mahalnya biaya politik, sehingga tidak semua kalangan memiliki kesempatan yang sama untuk terjun di dalamnya.

“Biaya politik semakin mahal dari waktu ke waktu itu merupakan suatu hal yang terprediksi sebenarnya. Orang berkeyakinan untuk memajukan tokoh yang memiliki modal sosial yang besar,” tutur Alfath. Menurutnya, kondisi politik saat ini hanya memungkinkan dua kalangan untuk dapat maju dalam pemilihan. Keduanya adalah mereka yang memiliki latar belakang keluarga politik dan kalangan pengusaha atau oligarki.

Sangat jarang ditemui kandidat pemilihan berasal dari elemen masyarakat murni yang mengikuti proses kaderisasi partai secara bertahap hingga menjadi kandidat. Alfath menambahkan, bahkan fenomena ini sudah memunculkan situasi baru yang disebut kelelahan berdemokrasi. “Masyarakat sudah distrust, karena mereka merasa tidak akan yang berubah setelah pemilihan. Ini gejala nasional yang terjadi dalam demokrasi kita,” pungkasnya.

Kendati demikian, tetap ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan demokrasi menguat kembali. Salah satunya dengan mendorong regulasi untuk kompetisi yang lebih sehat. Perlu adanya penguatan regulasi dan eksekusinya, sehingga aturan yang sudah disusun dengan baik juga harus diiringi dengan implementasi yang sesuai.

“Ketika kita menemukan kecurangan dalam pemilihan, prosedur yang harus dilalui sangatlah panjang. Berujung tidak ada konsekuensi yang diproses pada kandidat. Ini juga merupakan tantangan,” ujar Tri Noviana, perwakilan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Menurutnya, penegakkan regulasi tidak terlepas dari keterlibatan seluruh peserta pemilu, baik kandidat, partai, maupun masyarakat.

Setiap elemen berperan penting untuk menciptakan kembali pemilihan yang sehat dan kompetitif demi kembalinya demokrasi nasional.


You Might Also Like