Pakar UGM: Evaluasi Kemampuan Bayar Peserta Sebelum Naikkan Iuran BPJS
Rencana Kenaikan Iuran BPJS dan Tantangan Ekonomi
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, berencana menaikkan iuran BPJS, meskipun besaran kenaikannya belum ditentukan. Kenaikan ini mengacu pada UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan bahwa kenaikan iuran akan terjadi secara berkala. Total tunggakan peserta JKN per Desember 2024 mencapai Rp 21,48 triliun, sementara asuransi BPJS Kesehatan sangat bergantung pada iuran dari peserta.
Dr. Mulyadi Sumarto, dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, menyebutkan bahwa kenaikan iuran BPJS sudah sewajarnya terjadi. Hal ini dipertimbangkan karena inflasi, peningkatan tingkat pendapatan masyarakat, dan yang paling utama adalah menjaga keberlanjutan program. 'Bukan saja dinaikkan, tetapi dipertimbangkan ulang secara berkala,' ungkapnya di Kampus UGM.
Memahami Dampak Sosial dari Kenaikan Iuran
Kenaikan iuran BPJS tentunya juga akan sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama peserta mandiri. Dari sisi warga negara, hal ini merupakan hal yang cukup mengejutkan. Pada situasi ekonomi negara yang saat ini penuh dengan dinamika, keputusan ini dianggap sebagai jalan terakhir pemerintah untuk memastikan bahwa program ini tetap berkelanjutan.
'Terlebih lagi masih belum jelas mengenai penggolongan masyarakat yang menjadi peserta mandiri BPJS, yang menyebabkan analisis kemampuan masyarakat kurang tepat,' ujarnya. Seperti diketahui, terdapat dua golongan utama kepesertaan BPJS, yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI).
Di antara kedua golongan tersebut, terdapat sejumlah masyarakat yang terletak di area abu-abu, yang posisinya di antara garis batas kelompok miskin dan menengah. 'Dapat disebutkan kelompok tersebut tidak jauh berbeda dengan kelompok miskin,' jelasnya.
Meski hingga saat ini belum ada kepastian berapa besar kenaikan yang akan diterapkan pemerintah, Mulyadi memperkirakan ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh pemerintah: melakukan pemotongan subsidi atau pemberian subsidi yang tetap, tetapi jumlah iuran yang akan dinaikkan.
Namun, melihat kondisi akhir-akhir ini, pemerintah tengah memangkas besar-besaran anggaran untuk kementerian dan lembaga. Mulyadi menyebutkan, apabila asumsi dalam satu keluarga terdapat tiga hingga empat anggota keluarga dan menggunakan kelas III dengan iuran sebesar Rp 35.000 per orang, maka dalam satu bulan besaran iuran yang harus dibayarkan kurang lebih Rp 140.000.
'Bagi masyarakat miskin, menebus raskin dengan harga Rp 22.500 saja banyak yang tidak mampu menebus. Hanya 40% masyarakat yang mampu membeli,' ungkapnya. Mengacu pada data tersebut, berarti masyarakat yang terletak pada posisi abu-abu ini, yang kemampuan ekonominya hampir sama dengan golongan miskin, akan sangat terbebani dengan adanya kenaikan iuran.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, kata Mulyadi, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya, salah satunya seperti program Rencana Pembayaran Bertahap (REHAB). Akan tetapi, masalah utama di sini adalah ketidakmampuan membayarkan iuran. Meskipun dapat dicicil, jika kondisi peserta tidak mampu membayar, maka program ini pun rasanya tidak menyelesaikan permasalahan.
Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat mengenai prioritas ini agaknya juga mempengaruhi ketertiban untuk membayarkan iuran. 'Pemahaman masyarakat bisa jadi tidak cukup, akan tetapi belum tentu kesalahan warga negara,' imbuhnya. Menurutnya, pemahaman masyarakat mengenai hal ini akan beriringan dengan kondisi ekonomi.
Membayar iuran merupakan kewajiban warga negara, tetapi kemampuan untuk membayar iuran inilah yang perlu dikaji. 'Saya kira masyarakat tentu saja akan memprioritaskan kebutuhan pokok di luar asuransi,' sebutnya.
Menghadapi persoalan tunggakan peserta JKN ini dalam jangka panjang, menurut Mulyadi, pemerintah perlu meninjau ulang berbagai sektor mulai dari struktur penganggaran, perilaku politik, dan yang paling penting adalah kehati-hatian menggunakan anggaran. Ia juga menambahkan bahwa pemahaman mengenai kelompok rentan ini perlu dievaluasi dan yang lebih penting juga dimengerti bahwa kelompok rentan ini wajib dilindungi oleh pemerintah.
'Cek lagi menyeluruh dan pemerintah tidak seharusnya memaksa kelompok abu-abu ini untuk membayar, apabila dipaksakan juga tidak akan selesai,' pungkasnya.