Sekolah berasal dari bahasa latin yakni skhole, scola, scolae dan schola yang secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Kegiatan sekolah berawal dari kebiasaan masyarakat Yunani tempo dulu. Mereka mengisi waktu luang dengan cara mengujungi suatu tempat ataupun seseorang yang dianggap pintar untuk menanyakan persoalan tertentu yang penting dan diperlukan dalam kehidupannya.
Pada awalnya kegiatan mengisi waktu luang dengan mempelajari sesuatu ini dilakukan oleh para ayah. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan tersebut juga diberlakukan untuk putra-putri mereka, terutama bagi anak laki-laki karena nantinya akan menggantikan peran sang ayah.
Seiring perkembangan zaman, para orangtua pun didesak dengan berbagai macam kegiatan yang menyita banyak waktu. Alhasil, orangtua tidak lagi mempunyai waktu untuk mengajari anak mereka. Karena kesibukan tersebut, orangtua mengisi waktu luang anaknya dengan cara menyerahkan sang anak kepada seseorang yang dianggap pintar.
Orang yang dianggap pintar ini biasanya seseorang ataupun tempat di mana dulunya para orangtua mengisi waktu luang mereka untuk mempelajari sesuatu yang dianggap penting. Di tempat itulah anak-anak mereka biasanya bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang memang mereka anggap penting atau patut dipelajari sampai tiba saatnya mereka harus pulang kembali ke rumah.
Sekolah harusnya seperti taman
Jika menengok kembali mengenai awal mula terciptanya sekolah dari masyarakat Yunani tempo dulu, praktik pembelajaran seharusnya dilangsungkan dalam suasana mirip dengan suasana taman. Taman bisa menghadirkan suasana kegembiraan, kenyamanan, dan di taman ini seseorang bisa mengukir kenangan yang indah. Jangan sampai sekolah seperti penjara yang membelenggu. Sekolah juga selayaknya semacam tempat berteduh dan sumber air di tengah padang pasir untuk melepas lelah. Sekolah seharusnya sebagai tempat di mana orang-orang dapat memuaskan dahaga keingintahuannya, mewujudkan impian-impian, dan imajinasi karyanya.
Di Indonesia sendiri penggambaran sekolah sebagai taman sudah ada sejak tahun 1922. Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan Tamansiswa. Tokoh sekaligus Bapak Pendidikan pertama kita ini menggunakan kata ‘taman’ untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman berarti tempat bermain atau tempat belajar.
Penggambaran pendidikan sebagai taman juga kita temukan pada pemikiran Julius Nyerere. Nyerere adalah anak kepala suku Zanaki. Ia menempuh pendidikan di tanah kelahirannya hingga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Makerere, Uganda.
Nyerere berpandangan dan memaksudkan sekolah sebagai ‘kebun dalam arti yang sesungguhnya’. Bagi Nyerere, semua rakyat Tanzania harus menjadikan kebun atau ladang mereka sebagai sekolah tempat anak-anak belajar dari pengalaman nyata. Nyerere melihat bahwa tanah pertanian mereka dapat dijadikan sebagai tempat belajar yang relavan karena tanah pertanian masyarakat Tanzania sangat subur.
Makna sekolah sudah semakin jauh
Makna sekolah saat ini sudah semakin jauh dengan makna sekolah zaman dulu. Dulu, sekolah bermakna sebagai kebiasaan mengisi waktu luang atau senggang. Anak-anak mengisi waktu luang dengan kegiatan yang menyenangkan. Mereka bermain, berlatih melakukan sesuatu, dan belajar apa saja yang memang mereka anggap panting atau patut dipelajari.
Sekarang, jika disimpulkan dari berbagai pendapat ahli, sekolah adalah lembaga pendidikan baik formal, non formal, dan informal yang dirancang secara khusus untuk mendidik anak dalam pengawasan guru. Sekolah saat ini tidak hanya sebagai tempat mendapatkan ilmu atau pengajaran, namun juga diperketat dengan sistem-sistem yang tidak memberikan kebebasan anak dalam belajar.
Pembelajaran gaya bank
Tokoh pendidikan asal Brasil, Paulo Freire mengkritik pedas sistem pembelajaran yang tidak membebaskan siswa dalam belajar. Gaya pembelajaran seperti ini disebut dengan gaya bank. Proses pembelajaran gaya bank menempatkan guru sebagai subjek, sedangkan siswa adalah objek. Guru berdiri di depan siswanya kemudian mentransferkan ilmu yang dimiliki, sedangkan siswa hanya mendengarkan apa yang disampaikan gurunya. Gaya bank ini menggambarkan bahwa guru tahu segalanya, sedangkan siswa tidak tahu apa-apa. Konsep gaya bank ini menganggap siswa sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda yang mudah diatur.
Paulo Freire menyebut gaya bank dikarenakan guru seperti penabung sedangkan siswa sebagai bank yang harus menerima segalanya. Ironisnya, Paulo Freire menyebut pembelajaran gaya bank merupakan pembelajaran kaum tertindas dan kaum penindas. Guru disebut sebagai penindas sedangkan siswa disebut kaum yang tertindas. Pembelajaran gaya bank ini sangat merugikan kaum tertindas atau siswa. Siswa tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, tidak diberikan kebebasan dalam berkarya, dan tidak punya ruang untuk mengeluarkan bakatnya.
Gaya bank ini masing sering dilakukan di negara tercinta kita. Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Inilah potret ketidakberhasilan pendidikan dalam memanusiakan manusia. Penindas kehilangan rasa kemanusiaannya dan kaum tertindas tidak menyadari nasib apa yang menimpanya.
Pendidikan yang memanusiakan
Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Jika disimpulkan dari berbagai pendapat ahli, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses belajar yang dilakukan secara sadar.
John Dewey berpendapat bahwa belajar adalah proses membantu manusia untuk mengembangkan potensinya dan memanusiakan manusia. Pada hakikatnya belajar merupakan bagian dari kehidupan dan tujuan belajar bukan untuk mempersiapkan masa depan. Rose dan Nicholl pun berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menggambarkan masa depan secara pasti.
Mencetak lulusan siap bekerja
Presiden Joko Widodo memilih Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dengan harapan bisa mencetak lulusan siap kerja. Padahal mencetak memiliki arti cara membuat sesuatu dengan acuan. Sebagai contoh, mencetak batu bata harus menggunakan acuan sesuai bentuk yang diinginkan oleh pembuatnya. Apakah siswa dapat dicetak sama halnya dengan mencetak batu bata yang harus menggunakan acuan sesuai bentuk yang diinginkan?
Perlu diketahui bahwa anak-anak bukanlah benda mati. Anak merupakan makhluk hidup yang secara kodrati akan tumbuh dan berkembang. Pada dasarnya anak merupakan pribadi yang unik dan memiliki ciri serta karakter berbeda. Anak bukan benda mati yang dapat dicetak sesuai dengan kemauan orang lain. Anak bukanlah alat untuk orang lain, bukan pula menjadi anak yang ‘siap pakai’ sehingga perlu dijejali banyak materi yang sebenarnya jauh dari kebutuhannya.
Pendidikan kapitalisme
Salah satu akar permasalahan yang menjadi penghambat kemajuan pendidikan di Indonesia adalah adanya praktik kapitalisme. Presiden Joko Widodo memilih Nadiem Anwar Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dengan alasan supaya bisa mencetak lulusan siap kerja. Hal ini menandakan bahwa tujuan pedidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan pemikiran manusia, namun pendidikan bertujuan untuk mencetak calon tenaga kerja yang patuh dan hormat kepada tatanan masyarakat kapitalis dan hanya menjadikan dunia pendidikan sebagai tempat akumulasi modal.
Bukti lain bahwa pendidikan di Indonesia bersifat kapitalis adalah biaya pendidikan semakin mahal. Tidak semua masyarakat Indonesia dapat menempuh pendidikan sampai level sarjana, sebab biaya pendidikan di Indonesia termasuk mahal dan selalu meningkat setiap tahunnya. Lembaga ZAP Finance mengatakan bahwa biaya pendidikan di Indonesia meningkat mencapai 20 persen setiap tahun. Tidak heran jika ada orangtua yang rela menjual asetnya demi menyekolahkan sang anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara. Setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Berdasarkan pasal 31 tersebut, negara memiliki dua kewajiban, yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warga negara dan membiayai pendidikan bagi warga negara. Namun kenyataannya masih banyak angka putus sekolah dan anak-anak Indonesia yang belum sempat mengenyam pendidikan. Hal ini dikarenakan orangtua mereka tidak sanggup membayar biaya pendidikan. Jangankan membiayai sekolah sang anak, kebutuhan sehari-hari saja sulit untuk dipenuhi.
Pada akhirnya masyarakat yang memiliki perekonomian jauh di bawah rata-rata memilih menyuruh anaknya membantu mencari uang ketimbang sekolah. Padahal sekolah atau menempuh pendidikan merupakan salah satu cara terbaik untuk mengubah nasib seseorang.