ILO: Optimalisasi Jaminan Sosial Pekerja di Indonesia Masih Tertinggal
Sejak tahun 2014, Indonesia telah memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Namun, dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, perlindungan sosial di Indonesia masih belum optimal.
Menurut Ippei Tsuruga, Social Protection Programme Manager di International Labour Organization (ILO) untuk Indonesia, dalam seminar di FEB UGM, perlindungan sosial di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara lain di dunia. Manfaat bantuan sosial untuk anak-anak dan pekerja di Indonesia hanya sebesar 25,4%, dan untuk kecelakaan kerja sebesar 22,8%.
Lebih lanjut, penyandang disabilitas hanya mendapatkan manfaat sebesar 2,5%, sedangkan masyarakat lanjut usia menerima sebesar 14,8%. “Indonesia menjadi negara ketiga terbawah dalam penyediaan perlindungan sosial bagi masyarakat lanjut usia,” kata Ippei.
Perbandingan dengan Jaminan Sosial di Jepang
Ippei membandingkan program perlindungan sosial di Indonesia dengan Jepang. Di Jepang, pekerja yang baru diputus kontrak atau pengangguran mendapatkan tunjangan selama 3 tahun, serta pelatihan dan lowongan pekerjaan. Setelah mendapatkan pekerjaan kembali, mereka masih menerima reemployment allowance.
“Ini sebabnya angka pekerja di Jepang bisa mencapai 80,9%. Employment rate masyarakat lanjut usia juga masih tinggi, yaitu di atas 50% untuk usia 65-69 tahun,” ujar Ippei.
Di Indonesia, pelaksanaan jaminan sosial diselenggarakan oleh PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dalam bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dan Jaminan Pensiun (JP).
Tantangan Jaminan Sosial di Sektor Informal
Sayangnya, hanya pekerja formal yang mendapatkan perlindungan ini secara otomatis. “Perusahaan sektor informal memiliki regulasi berbeda. Perusahaan tidak mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan jamsos, tetapi mereka harus mendaftarkan dirinya sendiri,” ujar Ippei.
Qisha Quarina, dosen Ilmu Ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, menuturkan bahwa banyak pekerja di sektor tambang batubara yang merupakan pekerja formal dan mendapatkan jaminan perlindungan sosial dari negara.
Namun, meskipun banyak pekerja yang merupakan pekerja formal, mereka terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Skema ini sering kali merugikan pekerja dan membuat mereka rentan terhadap PHK sepihak.
“Banyak pekerja masih rentan terhadap gangguan ketenagakerjaan, terutama di tengah transisi energi dan perubahan permintaan tenaga kerja di sektor tersebut,” pungkas Qisha.