Cacing Sonari berwarna abu-abu dan tubuhnya dapat tumbuh hingga panjang 1,5 meter dan hidup hingga 15 tahun. Tubuhnya lunak dan berbentuk cincin serta hidup di tanah, terutama di akar-akar pohon.
Cacing Sonari biasanya hidup di tumbuhan paku, sarang burung walet menempel di pohon besar, kadang di tempat busuk dan lembab di batang pohon. Sonari diketahui terkadang hidup di hutan. Cacing ini kemudian naik ke pakis sarang burung untuk mendapatkan kelembapan.
Cacing Sonari juga mengandung beberapa senyawa aktif, seperti enzim lisozim, yang dapat mengobati demam tifoid. Zat ini mencegah pertumbuhan bakteri tifus dalam tubuh manusia. Bahkan di beberapa tempat, cacing Sonari digunakan sebagai bagian dari diet sehat karena kaya sumber proteinnya.
Beberapa wilayah di Indonesia menjadikan Cacing Sonari sebagai obat tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Sonari ini terbilang cukup unik karena bisa mengeluarkan bunyi cicitan atau peluit pada waktu-waktu tertentu.
Tubuh cacing Sonari lunak dan terdiri dari cincin-cincin atau seperti gelang. Namun cacing ini berbeda dengan cacing kalung atau cacing gelang, juga berbeda dengan cacing tanah kolonial.
Jangan salah, ada dua jenis Cacing Sonari yang sangat mirip, Metaphire Longa dan Metaphire Musica. Namun sebaran kedua jenis tersebut sedikit berbeda yaitu, Metaphire Longa banyak terdapat di Sumatera dan Jawa Barat, sedangkan Metaphire Musica mudah ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Flores.
Seperti cacing tanah pada umumnya, cacing Sonari bersifat hermafrodit, yaitu satu individu cacing memiliki 2 organ reproduksi jantan dan betina.
Namun, cacing Sonari perlu bertukar sperma dari individu lain untuk bereproduksi. Artinya, satu cacing tidak dapat bereproduksi sendiri, tetapi masih membutuhkan individu lain untuk menukar sperma yang membuahi sel telur.