Mantan Menteri Penerangan Harmoko meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Kabar itu disampaikan berantai melalui aplikasi perpesanan WhatsApp.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun telah meninggal dunia Bpk. H. Harmoko bin Asmoprawiro pada hari Minggu 4 Juli jam 20:22 WIB di RSPAD Gatot Soebroto. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau dan mohon doanya insya Allah beliau husnul khotimah. Aamiin YRA," tulis pesan yang menyebar di kalangan wartawan.
Ketua DPP Golkar Dave Laksono membenarkan kabar tersebut. Keluarga sudah mengonfirmasi kabar tersebut. "Kabar itu benar," kata Ketua DPP Golkar Dave Laksono, Minggu (4/7). Dave mengatakan, saat ini jenazah Harmoko masih berada di RSPAD. Pemakaman akan dilakukan esok hari.
"Pemakaman besok tapi saya belum tahu jam berapa," ujar Dave.
Harmoko lahir di Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur pada 7 Februari 1939 (umur 82 tahun). Harmoko juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR pada masa pemerintahan BJ Habibie. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, dan kemudian menjadi Menteri Penerangan di bawah pemerintahan Soeharto.
Harmoko merintis karier pada permulaan tahun 1960-an, setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, ia bekerja sebagai wartawan dan juga kartunis di Harian Merdeka dan Majalah Merdeka. Pada tahun 1964 ia bekerja juga sebagai wartawan di Harian Angkatan Bersenjata, dan kemudian Harian API pada 1965.
Pada saat yang sama, Harmoko juga menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Merdiko (1965). Pada tahun berikutnya (1966-1968), dia menjabat sebagai pemimpin dan penanggung jawab Harian Mimbar Kita. Pada tahun 1970, bersama beberapa temannya, ia menerbitkan harian Pos Kota.
Saat menjadi Menteri Penerangan, Harmoko mencetuskan gerakan Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pirsawan (Kelompencapir) yang dimaksudkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi dari pemerintah. Sebagai Ketua Umum DPP Golkar, Harmoko dikenal pula sebagai pencetus istilah 'Temu Kader'.
Terakhir dia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999 yang mengangkat Soeharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-7. Namun dua bulan kemudian Harmoko pula memintanya turun ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan.