Menyusuri Jalan Kayu Manis, Kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur, seolah tak ada bedanya seperti pemandangan Kota Jakarta pada umumnya. Pada kanan dan kiri jalan itu didominasi oleh bangunan permukiman warga. Namun puluhan tahun yang lalu, daerah yang kini padat dengan penduduk tersebut merupakan lahan perkebunan milik warga.
Tanamannya beraneka, salah satunya adalah salak Condet. Buah dengan nama latin Salacca zalacca itu merupakan maskot Jakarta bersama dengan Elang Bondol. Namun seiring dengan perkembangan zaman, keberadaannya semakin sulit ditemukan.
Di daerah asalnya sendiri, bahkan sudah jarang ditemui warga Condet yang memiliki kebun salak itu. Kalaupun ada jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan luas perkebunan yang dimiliki juga tidak terlalu besar.
Namun, ternyata ada sedikit dari lahan tersisa yang masih ditanami buah itu berada di Cagar Buah Condet. Lahan perkebunan seluas kurang lebih 3,7 hektare itu dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai tempat budidaya salak dan duku Condet.
Pemprov DKI Jakarta sejak 2007 telah menjadikan Cagar Buah Condet sebagai lahan konservasi. Langkah inisiatif dari Pemprov DKI dalam upaya melestarikan salak Condet itu dilakukan dengan membebaskan lahan-lahan yang tadinya dimiliki oleh warga.
Salah satu warga yang lahannya dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta tersebut adalah Asnawi. Pria asli Condet itu saat ini juga bekerja sebagai petugas di Cagar Buah Condet. Asnawi mengatakan bahwa dirinya bersama sejumlah warga lainnya merelakan lahannya dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta untuk dijadikan tempat konservasi salak Condet.
"Antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum, lebih kita utamakan kepentingan umum yang dampaknya kalau masih ada pohon, pertama untuk penyerapan, kedua berbagi oksigen," kata Asnawi seperti dikutip dari Antara.
Asnawi setiap harinya bekerja sebagai petugas perawat tanaman di Cagar Buah Condet. Asnawi bersama tujuh pegawai lainnya dengan tugas berbeda-beda bahu membahu dalam merawat dan menjaga tanaman yang ditanam di sini.
Dia mengatakan saat ini setidaknya ada sekitar 3000 pohon salak Condet yang telah ditanam. Dalam setahun, salak Condet bisa dua kali panen. Buahnya memiliki rasa dan keunikannya tersendiri dibandingkan salak jenis lainnya.
"Ketebalan daging beda. Kalau kita makan salak Pondoh manis, tapi dagingnya tipis. Rasa salak Condet juga macam-macam ada sepet, ada asam, manis," ujar Asnawi.
Bahkan, menurut Asnawi, salak Condet memiliki hingga sembilan jenis varietas buah dengan rasa yang berbeda. Menurut dia, hal itu dipengaruhi salah satunya oleh tingkat kematangan buah.
Petugas Kebun Cagar Buah Condet lainnya yang bernama Syafrudin mengatakan tidak ada kesulitan yang berarti dalam hal pembudidayaan salak Condet. Dia mengatakan bibitnya mulai dapat berbuah sekitar empat hingga lima tahun sejak ditanam, sementara bunganya sendiri memerlukan waktu hingga lima bulan lamanya untuk dapat mengeluarkan buah.
Meski demikian, tak dipungkiri bahwa hingga saat ini masih banyak warga di lingkungan sekitar yang kerap mengambil buah dari pohon salak dan duku Condet yang ditanam di area konservasi secara diam-diam. Padahal sekeliling area perkebunan sudah dibatasi dengan pagar besi untuk membatasi akses masuk bagi warga yang tidak berkepentingan.
"Kita di sini tidak mempertahankan buah saat panen itu karena aset pagar masih kurang rapat. Kedua, di sekitar kebun kita, masih ada rumah warga yang bertahan. Mereka kadang masih bisa masuk," tutur Syafrudin.
Dia mengatakan warga yang kerap mengambil tersebut terkadang tidak tahu tingkat kematangan dari buah yang dipetiknya. Buah seperti salak Condet yang seharusnya belum matang karena masih berusia muda kemudian dipetik sehingga tentu saja hal tersebut mengganggu upaya pelestarian.
"Kalau salak Condet kadar kematangan belum seratus persen itu belum enak. Masih asam, belum ada manisnya," ujarnya.
Kepala Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman Dinas KPKP DKI Jakarta Ali Nurdin mengatakan masih banyaknya warga yang dapat masuk ke Cagar Buah Condet membuat proses penghitungan produksi salak itu tidak maksimal.
"Tingkat keamanan masih belum maksimal karena masih ada keluar masuk warga di dalam sana. Apabila itu semua tertutup sehingga produktivitas bisa dihitung maksimal," kata Ali Nurdin.
Dia jua mengungkapkan bahwa ketersediaan lahan juga menjadi tantangan lainnya dalam upaya pengembangan budidayanya. Ali Nurdin mengatakan pesatnya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan banyak lahan yang tadinya digunakan untuk berkebun berganti menjadi permukiman. Hal itu juga yang membuat keberadaan salak Condet semakin berkurang.
"Sebelumnya di hamparan Condet, Balekambang itu banyak di halaman rumah dan bantaran kalinya bertebar salak dan duku," ujar Ali Nurdin.
Ali Nurdin mengatakan dirinya belum mengetahui mengenai rencana penambahan lahan untuk pelestariannya di Cagar Buah Condet. Untuk saat ini, dia mengatakan pihaknya berfokus untuk optimalisasi lahan yang ada untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dalam pelestarian sang maskot Jakarta.
Dia mengatakan upaya Pemprov DKI Jakarta yang merencanakan kawasan Condet sebagai destinasi wisata dan budaya sebagai langkah yang harus didukung penuh. Menurut Ali, Cagar Buah Condet menjadi salah satu lokasi yang tengah disiapkan menjadi destinasi wisata dan juga sebagai tempat edukasi bagi masyarakat mengenai buah sejarah itu.
"Ke depannya kita harus bersinergi dengan unit di luar kami, sebagai contoh, kemarin ada kunjungan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan bahwa itu merupakan tempat salah satu destinasi wisata di Jakarta Timur," kata Ali.
Tentunya berbagai upaya untuk pelestarian sang maskot Jakarta tersebut harus didukung penuh oleh semua pihak, baik dari pemerintah hingga masyarakat. Tujuannya jelas agar tunas-tunas bangsa generasi penerus di kawasan Condet khususnya dan Jakarta pada umjumnya tidak hanya mendengar kejayaan salak Condet hanya melalui cerita dongeng pengantar sebelum tidur.