thumb.viva.co.id
Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dengan menyusutnya kelas menengah, yang merupakan pilar utama perekonomian. Media asal Singapura, Channel News Asia (CNA), menyoroti potensi Indonesia mengalami nasib serupa dengan Chili jika tren ini terus berlanjut.
Menurut CNA, ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kelas menengah di Indonesia. Pemutusan hubungan kerja (PHK), pajak yang tinggi, dan meningkatnya harga barang menjadi penyebab utama yang menggerus daya beli masyarakat.
Salah satu contoh nyata adalah Muhammad Yudhi, seorang mantan pekerja kantoran yang kini beralih menjadi ojek online setelah di-PHK. Dengan penghasilan hanya Rp 2 juta per bulan, Yudhi merasa kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah kenaikan harga yang terus terjadi. "Saya sedih, rasanya kita seperti sedang mundur sebagai sebuah negara," ungkapnya.
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia telah turun sebesar 17,1 persen, yang berarti sekitar 47,85 juta orang dari total 289 juta penduduk.
Para pakar memperingatkan bahwa penurunan kelas menengah ini bisa menjadi tanda bahaya bagi ekonomi Indonesia. Bhima Yudhistira, direktur eksekutif CELIOS, menyatakan bahwa meskipun PDB Indonesia tumbuh sekitar 5 persen, kesenjangan sosial semakin melebar, mirip dengan situasi di Chili yang mengalami kerusuhan sosial akibat ketidakpuasan kelas menengah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui pentingnya kelas menengah dalam perekonomian dan telah memberikan beberapa insentif. Namun, banyak yang berpendapat bahwa langkah tersebut belum cukup untuk mengatasi masalah yang ada. Bhima menekankan perlunya pemerintah untuk merumuskan kembali upah minimum dan memberikan potongan pajak pada kebutuhan dasar agar daya beli masyarakat dapat pulih.