Edukasi

Kesehatan Mental Pekerja Informal: Tantangan yang Sering Terabaikan

Peran Penting Pekerja Informal dalam Ekonomi

Pekerja informal di Indonesia memainkan peran krusial dalam perekonomian negara. Meski demikian, perhatian terhadap kesehatan mental mereka sering kali terabaikan. Mereka tidak memiliki kontrak kerja tetap, perlindungan sosial, atau kesehatan yang memadai, dan pendapatan mereka sering tidak menentu. Menurut Dekan Fakultas Psikologi UGM, Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., perhatian terhadap kesehatan mental pekerja informal adalah aspek penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Secara statistik, sekitar 59% dari angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor informal. Ini berarti ada sekitar 72 juta orang yang bergantung pada pekerjaan informal, mencakup sekitar 43 hingga 45 juta rumah tangga. Dengan demikian, sekitar 152 hingga 160 juta jiwa bergantung pada ekonomi sektor informal. Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung sektor ini akan berdampak langsung pada mereka.

Tekanan Mental dan Beban Pekerja Informal

Di tengah kondisi ekonomi yang belum kondusif, tekanan mental bagi pekerja informal semakin meningkat. Contoh pekerja informal seperti ojek online, tukang kayu, pedagang kaki lima, hingga asisten rumah tangga sering menghadapi beban psikologis yang signifikan. Bagi mereka, kelelahan bukan hanya fisik tetapi juga mental. Tekanan psikologis ini muncul dari ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan sosial.

Rahmat mengidentifikasi empat kategori beban yang dihadapi pekerja informal: beban pekerjaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan fisik. Ketidakpastian pekerjaan adalah sumber utama beban. Dari sisi ekonomi, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, biaya sekolah, dan hutang. Beban sosial juga menambah tekanan, terutama karena masyarakat Indonesia yang kolektif cenderung memberikan penilaian sosial yang tinggi. Lingkungan fisik yang tidak mendukung menjadi beban tambahan.

Kesehatan mental adalah kemampuan seseorang untuk bekerja dengan baik dan membangun relasi sosial yang mensejahterakan. Rahmat menyebutkan tiga mekanisme psikologis dan sosial yang menghalangi mobilitas vertikal, khususnya kesejahteraan: cognitive tax, poverty frame, dan social & environment tax.

Cognitive tax atau ketidakpastian dalam pekerjaan dan penghasilan menyerap sumber daya kognitif penting untuk pengambilan keputusan, menurunkan kemampuan berpikir jernih. Kondisi ini menciptakan poverty frame, bingkai kemiskinan yang membuat masyarakat menerima keadaan tanpa menyadari peluang pengembangan diri. Beban lingkungan sosial sering kali menjadi beban tambahan melalui tuntutan yang tidak mempertimbangkan kondisi individu.

Bingkai kemiskinan yang terbentuk akibat perlakuan di tempat kerja dan masyarakat dapat menurunkan semangat dan kemampuan untuk memiliki cita-cita dan keinginan mengembangkan diri. Rahmat menyoroti banyak kebijakan publik yang mengabaikan pertimbangan psikologis manusia, termasuk pekerja informal. Kebijakan sering didasarkan pada data statistik tanpa memperhitungkan dampak psikologis yang mempengaruhi efektivitasnya.

Misalnya, berapa persen pekerja informal yang perlu dibantu, tanpa mempertimbangkan perasaan, pikiran, dan respons mereka terhadap kebijakan tersebut. Faktor psikologis ini penting untuk memastikan kebijakan berjalan efektif. Untuk mengubah kondisi masyarakat secara luas, diperlukan kebijakan inklusif yang sensitif terhadap cara berpikir kelompok masyarakat tersebut.